Mencari Rekognisi


I had a mental breakdown a few days back. Gara-gara seorang teman memforward capture surat klaim penulis (yang juga berstatus konsultan) yang diajukan ke bagian keuangan. Lima juta untuk 10 hari kehadiran.

Gue yang, "What? 500k a day?"
While me, the newbie writer, is still struggling to 'touch up' her book so students can gain something from reading it, dengan bayaran seorang korektor yang begitu diajukan ke keuangan pun biasanya disertai protes "Kok, banyak banget?" karena hadir hampir setiap hari.

Why? Because they would ask, "Kerja editornya apa dong?"
Most of the time, we did all the work. And if its too much too handle by the editor, they will ask some assistants to do the job.
Sementara si penulis? Tinggal ongkang-ongkang kaki menunggu bayaran royalti.
Menulis bukanlah pekerjaan yang mudah. Kalo ngutip gaya bicaranya Dilan, "Nulis itu berat, kamu nggak akan kuat. Biar aku saja."
Kenapa? Karena untuk menulis, dibutuhkan skill, yang diperoleh dari bakat dan pengalaman. Juga pengetahuan, yang diperoleh dari membaca.
Stephen King ever said, "If you don't have time to read, you don't have time (or tools) to write. Simple as that."

Kenapa sekarang banyak banget orang perang di medsos? Karena jempolnya ngetik komen nggak pake otak. Asal cuap. Ngasih pendapat hanya dengan pengetahuan yang terbatas dan kemampuan memahami konteks masalah yang rendah. Semuanya, karena males baca.

Netijen oh netijen.

Ng... sepertinya kita keluar jalur.

Okay, lets go back.
Firstly, kita sepakat, kalo menulis itu sulit. So, I do really appreciate J.K.Rowling, Dewi Lestari, atau Dan Brown for doing their job. Menulis yang disertai riset dan skill yang mumpuni, yang menghasilkan karya yang berkualitas yang membuat mereka mendapat rekognisi.
But unfortunately, we don't really have one in here. (Umm.. ini gue ngebongkar dapur sendiri ga sih?)

It's true that most of our writers are teachers. Orang yang paling dekat dengan bidang itu sendiri, yang tau dengan pasti apa yang dibutuhkan murid untuk memahami dan apa yang dibutuhkan guru untuk mengajari. Harapannya, dengan pengalaman mereka sebagai pengajar, mereka bisa ngasih advice konten apa yang harus disertakan dalam sebuah buku.
Sayangnya, kebanyakan guru nggak jago nulis. So, most of the time, hanya sekian persen saja tulisan asli mereka dalam draft akhir buku karena sisanya dirombak total oleh editor. Bisa karena kontennya yang nggak nyambung sama kurikulum, bisa karena bahasanya yang ketinggian (Gimana nggak, kalo buku matematika SD ditulis oleh seorang profesor?), atau kalimatnya yang berbelit-belit dan akhirnya harus dipangkas habis.
Pada akhirnya, editor cuma bisa gigit jari karena begitu musim royalti turun, si penulis bisa jalan-jalan ke Eropa sementara si editor harus berlembur ria men-touch up (menuliskan kembali *uhuk) buku mereka.

Kenapa mereka dipertahankan?
Karena punya nama. Dikenal oleh kalangan pendidikan sana. Ada yang kedudukannya sebagai kepala sekolah, terlibat di kementrian, ada yang jadi konsultan pendidikan...
Karena dikenal khalayak, nama mereka gampang dipake kalau mau jualan.
Yeah.. in the end.. it's all about the money.
I am still no one. Cuma anak kemarin sore yang baru mendapat ijasah master. Belum punya karya, belum punya nama.

But soon friend, soon..

Sekarang, cuma bisa terus menulis, dengan idealis.
Kalo karya sudah jadi, rekognisi bakal datang sendiri.


~written at 00.58 am

...while I could't sleep....

Komentar